OFiSKITA - Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang Indonesia akrab dengan gorengan. Camilan gurih berbalut tepung ini mudah sekali ditemui di meja makan setiap rumah tangga, bahkan menjadi sajian pada acara-acara istimewa. Namun sayangnya kandungan minyak dan proses menggoreng yang cukup lama kurang baik untuk tubuh.
Celah inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Eva Rosalina Darmalaksana dan keluarga. Berbekal resep turun temurun dari sang nenek, Eva mencoba mengubah image ‘gorengan tidak sehat’ menjadi ‘makan gorengan guilty free’, dengan memproduksi camilan tahu lunpia gluten free, tanpa MSG, yang digoreng dengan minyak baru setelah maksimal 4 kali penggorengan, sehingga aman dikonsumsi oleh anak dan dewasa.
BACA JUGA: Produk Andalan Resep Warisan Belanda
Produk yang juga menjadi oleh-oleh khas Semarang ini memiliki nama Eatlery. Terdengar kekinian bukan? Hal ini bukan tanpa alasan. Sebagai pemilik usaha yang sadar akan pentingnya branding, mereka berkesempatan mendapatkan pendampingan dari sebuah NGO Kanada pada tahun 2018. Sejak itulah lahir nama Eatlery sebagai brand tahu lunpia mereka, menyesuaikan dengan target market kelas menengah atas di wilayah Jawa dan Bali, terutama wisatawan yang berkunjung ke kota Semarang.
Produk Eatlery dijual dalam bentuk beku dengan proses pembuatan yang dilakukan ketika ada pesanan masuk dari konsumen. Untuk proses pengiriman produk sendiri, Eatlery memanfaatkan jasa pengiriman yang memiliki fasilitas freezer.
Selain dari penggunaan bahan baku serta pemrosesan yang mengindahkan kesehatan, Eva juga menggunakan kemasan yang berkualitas yaitu vacuum pack dan eco pack dengan belt. Eva juga merinci bahan-bahan yang digunakan serta cara penyajian pada stiker yang disematkan di kemasan produk.
Merintis bisnis kuliner diakui Eva tidak mudah. Ia pun mengalami sulitnya membagi waktu dengan baik sehingga pengiriman produk tidak tepat waktu. Belum lagi pahitnya ditipu orang, namun itu semua membuka wawasan Eva dan menjadi pelajaran berharga dalam mengembangkan bisnis makanan yang menjadi andalan keluarganya ini.
BACA JUGA: Olahan Menu Tradisional, Alternatif Oleh-Oleh dari Yogyakarta
Saat ini, seperti semua pelaku UMK yang terdampak pandemi, Eatlery pun mengalami hal serupa. Pada awal-awal pandemi penjualan mengalami penurunan drastis hingga 70%, karena ketika itu Eva hanya menjual secara offline melalui toko. Grafik penjualan Eatlery baru berangsur membaik ketika strategi penjualan diubah dari offline menjadi online.
Penjualan online terbukti dapat mendongkrak penjualan, bahkan kini Eatlery juga memiliki beberapa reseller. Eva dan keluarga memanfaatkan Instagram @eatlerysemarang, Facebook page: Eatlery Semarang, dan Whatsapp sebagai ujung tombak penjualan produk Eatlery.
Eatlery pertama kali diperkenalkan kepada konsumen pada tahun 2000, ketika orang tua Eva mengalami pemutusan hubungan kerja, sehingga mereka sekeluarga harus memutar otak untuk mencari sumber penghasilan yang lain. Kini, berkat kerja sama yang baik di dalam keluarga serta kualitas produk yang dijaga dengan baik, Eatlery berhasil mencapai omzet rata rata per bulan sebesar 5 - 6 juta rupiah, dengan tiga orang karyawan. Eva sekeluarga optimis bahwa di tahun depan rencana besar mereka dapat terwujud, yaitu memperluas pasar ke beberapa toko oleh-oleh dan membeli mesin untuk meningkatkan kapasitas produksi.